Naskah terbaik ke10 lomba cerpen tema Cinta
Oleh: Ina Fatihatul Makiyyah
Terlintas dibenakku, aku ingin memberi pesan salam
padanya, ingin lebih dekat denganya, tapi aku malu.
Aku malah nekat ingin mengirim sebuah tulisan, “
Akhi Attar, aku ingin halal bagimu.” Tapi tidak, aku tidak yakin dengan kirimanku
ini, apa bisa dengan cara itu aku bisa mengenalnya. Kuurungkan niatku untuk
mengenalnya dan mendekatinya. Terus bagaimana? Bagaimana aku bisa mengenalnya?
Caranya gimana? Aku masih berfikir mencari jalan. Waktu telah menunjukanku akan
artinya sabar dan menunggu. Tapi jika aku tak berkata maka aku kalah. Jika aku tak
mengungkap aku mengalah. Rasa ini sudah tak tertahan lagi, aku ingin dia tahu
bahwa aku ingin mencintainya saja, cukup mencintainya. Aku ingin dia bisa
menjadi imamku, penyempurna diriku karena aku tahu bahwa dia bisa menjadi
imamku dan keluarga kecilku kelak.
Sukses, terkirim!
Aku sudah mengirimkan kalimat itu, ya kalimat itu.
“Akhi Attar, aku ingin halal bagimu.”
Karena aku tidak bisa menjadi Fatimah yang selalu
menyembunyikan cintanya pada Ali, tidak. Aku tidak bisa. Walau beribu malu,
tapi aku akan menerima konsekwensinya.
Masih terbayang akan seperti apa dia menjawab inboxku
ini. Aku berkelana jauh menebak-nebak jawaban apa yang akan diberikan pada
wanita yang telah lancang mengirim inbox seperti itu. Hufft
“Astagfirullahadziim…”
“Maksudnya apa? Maaf sebelumnya saya tak kenal
ukhti.”
Atau,
“…?” (hanya titik tiga dan tanda tanya)
Atau,
“gaje kamu.” Ah tapi tidak tidak, tak mungkin dia
berkata seperti itu.
Ah mungkin dia akan menjawab ini,
“Ukhti, maaf saya sudah mengkhitbah orang lain.”
Argh jleb, sakit.
……
Aku segera menggeleng-geleng kepala, berusaha
menyadarkan diri, lalu menghela nafas panjang yang sedari tadi sesak, dan akusukses
membuatku sadar dari lamunan yang banyak menguras otakku hingga Akupusing
sendiri. Akutelah berkenala jauh dalam bayang semu.
Satu hari, dua hari, tiga hari, tidak ada balasan
sama sekali….
Dan di hari ke-4, ada tanda ceklis bahwa dia telah
membaca pesan singkat dariku. Tapi tak ada balasan.
Tiap hari aku selalu membuka akun facebookku, bahkan tiap jam aku melihatnya,
berusaha menebak-nebak dan mengharapkan balasan ‘iya’ dari lelaki itu.
Mugkin dia hanya menganggapnya lelucon saja. Aku ingin
serius, tapi jika dipresentasikan kemungkinan yang ada mungkin hanya 98% dia
mau nerima aku yang entah asal-asulnya tak ia ketahui, yang langsung mengatakan
hal yang cukup lancang, tidak tidak….tapi ini sangat lancang.
Ah, ini menyiksaku. Antara menahan cinta dan menahan
malu. Bagiku keduanya sangat beda tipis. Tapi jika tak ku panggil cinta, maka
cinta bisa hilang dalam sekejap saja.
# # #
“Sofah, kamu tau gak dengan Ustadz Attar yang
pesantrennya deket rumah kamu?”
“Aku gak tau Say, lelaki itu banyak. Aku enggak
hapal nama-namanya toh.”
“Hmmm, kirain tau.”
“Eh, bentar. Maksudnya Ustadz Ahmad? Yang nama
lengkapnya Muhammad Attar? Kalo itu sih aku tahu, Saida.”
“Nah iya, dia hehehe.”
“Ko kamu bisa kenal dengannya? Itu loh dia itu ustadz
yang pernah ngisi ceramah waktu kita smp dulu, dia juga anaknya Bu Rodimah,
guru Bahasa Arab kita pas kelas 3 SMP.”
“Oh, Ustadz yang kamu kagumi itu yah? Aku belum
pernah ngeliat dia. Gimana orangnya? Apa dia baik?”
“Ih…dia baik banget! Terus denger-denger kata
sodaraku temen Ustadz Attar, katanya dia mau nikah di tahun besok saat dia pulang ke
Indonesia.”
JLEB DOOORRR DAAARR….
Aku kaget mendengarnya, layaknya aku adalah seorang
kekasihnya yang ditinggal pergi. Menyakitkan. Kusembunyikan wajah sedihku
dengan senyum setuju pada Sofah. Aku pulang dengan membawa oleh-oleh satu hati
yang berjuta sayatan luka.
Aku menahan malu saat kuingat kata-kata yang telah Aku
kirimkan padanya, pantas saja dia enggan untuk membalasnya. Dan tak lama dari
kejadian itu, dia membalas jawabanku dan aku patah hati.
Ah…Akubodoh
sekali!
Emosiku tak tertahan, kubersujud di sajadah cintaku malam
itu, bagaimana bisa aku sakit mengemis cinta pada makhluk yang tak bisa memberi
cinta. Aku menyesal. Waktuku yang sempat kuisi dengan harapan-harapan
tentangnya ternyata sebuah omong kosong saja, membuang waktuku saja.
Jika sudah begini, siapa yang harus kusalahkan? Apa
kusalahkan Tuhan yang memberi cinta? Atau kusalahkan saja lelaki yang membuatku
cinta? Ah…Yaa Tuhan, Akulah yang salah. Akuyang telah memilih jalan ini dan Akupula
lah yang harus menanggung rasa sakit ini. Maafkan akuyang masih mengeja-eja
setiap luka tentang cinta. Lukaku masih menganga.
# # #
Waktu membawaku ke jalan dewasa, dan aku masih
mendambanya. Telah kulepaskan setiap duka yang masih tersimpan dalam dada,
kutitipkan setiap rindu yang enggan menjelma.
Hanya isak tangisku kemarin meluapkan segala
kerisauanku akan dirinya. Akan jodoh yang ditaqdirkan Tuhan.
Akumulai membuka jalan baru. Aku lulus kuliah, tepat
di umurku yang ke-22 tahun, dimana saat SMA dulu aku pernah mendamba untuk
menikah diusia muda setelah lulus kuliah.
# # #
“Saya ingin melamar putri Bapak, Saidatun Nafisah.”
“Darimana Anda tahu putri kami? Apakah Anda sudah
sangat mengenalnya?”
“Iya, saya sudah mengenalnya, saya banyak tahu
cerita tentangnya. Saya yakin, bahwa Allah telah menetapkan dan memantapkan
keyakinan hati ini untuk memilih putri Bapak.”
Saat itu aku sedang bersama Fatimah
kecil, adikku. Terdengar suara Umi memanggilku dengan terburu-buru.
“Saida, ada lelaki tampan dan sholeh melamarmu.”
Sambil tersenyum
Sekejap hati ini terus berdebar-debar,
bertanya-tanya. Siapa lelaki itu? Apa Akumengenalnya? Kenapa dia melamarku?
“Saida sayangggg…!” seketika itu juga lamunanku
buyar.
“Ah Umi aku kaget tau. Mi, memangnya siapa dia?”
“Kamu lihat saja yuk, Abi menyuruh umi untuk
menyusulmu, Saida.”
Langkahku semakin menyatu, aku dan Umi beranjak
menuju ruang tamu. Setiap langkah kaki yang kutuju, di sana pula ada harapan
yang telah menganga berharap terselesaikannya teka-teki cinta.
Dag…dig…dug….
Dag…dig…dug…
Aku mengikuti Umi dari belakang.
Mataku langsung tertuju pada sosok lelaki yang
sedang duduk berhadapan dengan Abi. Lelaki yang memiliki janggut tipis dan
berbaju putih. Wajahnya menenangkan. Kakiku seolah lumpuh, langkahku terhent, saat
itu pula aku berbalik arah membelakangi pintu.
Yaa Allah……!!!
Entah darimana datangnya, entah darimana asalnya.
Sosok lelaki yang telah kulepaskan dalam hari-hariku yang penuh harap datang
tanpa disangka dan dinyana, ia membawakubunga cinta. Membawa keindahan yang
melanglang dan mencakra buana membawaku ke langit ketujuh hingga aku merasa
wanita yang sangat beruntung mendapatkan dirinya.
Aku menetaskan air mata itu lagi. Lagi-lagi air
mata, tapi ini beda, air mata bahagia!
Bagaimana bisa? Tak ada daya dan upaya selain
kehendak-NYA.
“Mana Saida, Mi?” abi bertanya pada Umi
“Tadi dia bersama Umi. Saidaaaa ?” Umi berbalik arah
dan menyusulku.
Umi menemukanku disudut pintu, lalu ia menghampiriku
yang sedang terisak.
“Kenapa? Apa Saida tidak suka dengan dia? Kalau Saaida
tidak suka Umi dan Abi enggak akan memaksa Saida.”
“Tidak Umi.”Aku langsung memeluk Umi, setengah
senyum dan menangis bahagia karena lelaki yang datang itu, Muhammad Attar.[]
Udh baca dr part satu sampai ending keren ceritanya :)
BalasHapusSubhanallaah.. Allahu Akbar..
BalasHapus