Untuk kamu, Ramadhan..
Sedih rasanya berpisah dengan mu, karena hanya
setahun sakali kami bertemu denganmu. Ada rindu untuk ingin segera bertemu
kembali dengan mu di tahun ini.Ah,,indah rasanya, suasananya yang
dirindukan.Tapi apakah ini rindu atau hanya pura-pura rindu ? .Dua bulan
sebelum kamu datang, kami selalu panjatkan doa pada Allah untuk dapat bertemu
kembali dengan mu tahun ini, kami selalu bilang begitu merindukanmu, dan pada
saat yang sama ada rasa ketakutan untuk ingin segera berjumpa dengan
mu.Jangan-jangan tahun lalu adalah perjumaan tekahir kita.
Sekarang kamu telah datang menjelang
Sukacita
menyambut kehadiranmu.Kemeriahan menyambut kedatanganmu, tarhib,petasan meledak
dan berisik di sana-sini, masjid-masjid kembali hidup, kitab-kitab dibersihkan
dari debu yang menyelimutinya entah sejak kapan—Ramadan lalu barangkali,
berbondong-bondong kami berangkat shalat tarawih meski berat sebab perut kami
masih dalam keadaan kenyang keterlaluan, pukul dua acara televisi sudah
ramai dengan lawakan-lawakan yang tidak lucu, dan seperti biasa: lagu-lagu
religi diperdengarkan di mana-mana.
Tiap
hari kami menghitung lembar-lembar kitab yang telah kami baca, kami tersenyum:
sudah banyak, insyaAllah targetan kami tercapai. Kami tak terlalu peduli apakah
kitab yang bolak-balik kami baca itu kami mengerti atau tidak, apalagi
mengamalkannya—kejauhan. Kami sudah sangat puas bila ada yang bertanya ‘sudah
berapa lembar yang telah dibaca’, kami bisa menjawab: sudah khatam dua kali.
Lalu mereka kagum. Bukankah itu surga?
Tapi
itukah sambutan yang sungguh kau harapkan wahai Ramadan?
Kami
melihat agenda harian kami: Senin buka bersama dengan X, Selasa buka bersama
dengan Alumni Y, Rabu buka bersama dengan Komunitas Z sekaligus Sahur on The
Road, Kamis.. Jumat.. begitu seterusnya. Begitulah cara kami merayakan
kedatanganmu. Tarawih bisa dilewat karena sunnah, Shalat malam jangan ditanya,
mana sanggup kami menunaikannya. Malam-malam kami habiskan dengan tidur dengan
lelap karena lelah, jangan sampai kami kesiangan sahur apalagi ketinggalan
acara sahur favorit. Nanti kami dibilang tidak gaul.
Shalat
shubuh di Bulan Ramadhan bagi kami adalah ritual penting menuju alam mimpi. Ya,
kami tidur lagi karena tidur di Bulan Ramadan adalah ibadah.
Puasa
kami tak pernah bolong barang sehari, sebagaimana lisan kami yang tak pernah
lupa jadwal amalan gibahnya. Kami begitu kuat menahan lapar, dahaga, berahi,
sebagaimana kami begitu kuat menahan harta yang ada di dompet kami—tak ada yang
boleh menyentuhnya sebab akan kami gunakan untuk lebaran mahameriah kami.
Sesekali kami ingat ucapan penyair itu: ‘kau akan menjadi milik hartamu jika
kau menahannya, dan jika kau menafkahkannya maka harta itu menjadi milikmu.’
Tapi siapa peduli. Lebaran tetaplah lebaran, merayakannya dengan kesederhanaan
tak boleh jadi pilihan.
Seperti
itukah perlakuan yang ingin kau dapatkan wahai Ramadan?
Kelak
ketika Ramadan berakhir, kami—dengan mengendarai mobil pribadi kami—akan
berkeliling mengunjungi saudara dan kerabat, bermaaf-maafan atau sekadar
mencicip kue. Kami tentu senang, bahagia, karena katanya kami menang.
Ah,
Ramadan.
Entahlah,
kami tak mengerti: barangkali kami memang cuma pura-pura merindukanmu.
Wildan NZ
SOSIALKAN >>